Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Dan alam berkembang menjadi guru “jika ingin tau sifat asli orang2 ajaklah mendaki gunung” diatas sana, tak ada yang bisa sembunyikan karakter aslinya :
jika egois ia akan egois . , penakut akan banyak diam. , pengeluh akan berhenti berkeluh kesah selama perjalanan,

TwImg-20141129-231914

dari situlah kita akan tahu kekurangan serta kelebihan diri masing2 dan kmudian bisa instropeksi diri

Mendaki, tak jauh beda dengan kehidupan. Lewati tanjakan terjal yang bisa bikin menyerah, berhati-hati susuri tepi jurang, jika tak hendak terpeleset. Dan jika terpeleset, mampukah melanjutkan perjalan? Atau memilih mundur dan turun untuk selanjutnya pulang? Atau berhenti untuk sejenak melepas lelah dari perjalanan panjang?

Sesekali kita butuh orang lain untuk berpegangan tangan saat lewat titian. Bahkan harus percayakan nyawa kepada teman, ketika perlu memanjat bagian tebing curam.

Menatap lautan juga penuh dengan filosofi hidup. “Laut dipisahkan pasir yang meredam air laut.” Apa pun kejadian di laut, laut tak akan menggempur daratan, kecuali bencana sebesar tsunami. Yang bermakna: Sebisa apa pun yang terjadi dengan kita, jangan sampai membuat orang lain mengalami dampak negatifnya. Tetap melakukan dan berbuat yang terbaik tanpa ada yang harus tersakiti, terzalimi dan teraniaya.

Laut juga mampu tanggulangi sampah yang menyesakinya, dengan dihempaskan ke pantai, atau memendamya di kedalaman sehingga menjadi sedimen. Begitu juga kehidupan. Ada hal yang harus kita lakukan, dan ada hal yang harus kita pendam; supaya tidak keluar ke mana-mana. Supaya tidak menjadi fitnah atau sejenisnya.

Laut, punya lapisan yang berbeda-beda pada kedalaman-kedalamannya. Tetapi dia tetap laut. Kita boleh berbeda satu sama lain, tapi kita harus tetap bersatu-padu.

Bumi, sangat dipengaruhi laut. Tapi laut tidak mempengaruhi dirinya, dan makhluk di dalamnya juga tetap menjaga dirinya masing-masing tanpa harus dipengaruhi oleh air laut. Lihat ikan laut! Walau airnya asin, rasanya tetap tawar. Artinya, walau di belahan mana pun berada, kita harus tetap menjadi diri sendiri yang bijak dan mampu membuat perubahan yang baik untuk diri kita dan sekeliling.

Dan filosofi tertinggi, sendiri di puncak bukit atau sendiri di tengah samudera, semakin meyakinkan kita bahwa sungguh kita teramat kecil. Ibarat sebutir pasir di pegunungan, sebulir air di samudera; tak pantas untuk pongah.

Sekali lagi, laut atau gunung? Asam di gunung, garam di laut, bertemu dalam belanga. Kamu suka gunung, aku suka laut, mari bersatu dalam bejana cinta. Cinta alam, cinta sesama adalah wujud mencintai kehidupan. (by.Maman Suherman)

 

Lihatlah betapa kita begitu kecil

(saya) > keluarga > tetangga satu rt > RW..satu rw ada 5 rt > kelurahan..1 kelurahan ada 50 rw > kecamatannya terdiri 30 klurahan > lanjut ke kabupaten/kota > provinsi > Indonesia > asia > dunia > bumi > jagat raya >>> *sampe sini aja kita udah keciiiil bgt..*

1planet2

Itu hanya beberapa planet dan bintang yang manusia dapat ketahui, belum lagi planet dan bintang yang jauh yang tidak dapat terdeteksi oleh teropong tercanggih sekalipun buatan manusia saat ini, dan pengetahuan manusia saat ini, belum juga dapat mengetahui seberapa besar alam semesta dan dimana batas alam semesta ini, seperti apa bentuk dari alam semesta, dan apa yang ada diluar alam semesta kita ini, semoga waktu dapat menjawabnya dan ini dapat menjadikan kita semakin kagum akan kebesaran Tuhan pencipta alam semesta.(Berbagai sumber).
Dari jarak sejauh ini, Bumi tampak tidak penting. Namun bagi kita, lain lagi ceritanya. Renungkan lagi titik itu. Itulah tempatnya. Itulah rumah. Itulah kita. Di atasnya, semua orang yang kamu cintai, semua orang yang kamu kenal, semua orang yang pernah kamu ketahui, semua manusia yang pernah ada, menghabiskan hidup mereka. Segenap kebahagiaan dan penderitaan kita, ribuan agama, pemikiran, dan doktrin ekonomi yang merasa benar, setiap pemburu dan pengumpul, setiap pahlawan dan pengecut, setiap perintis dan pemusnah peradaban, setiap raja dan petani, setiap pasangan muda yang jatuh cinta, setiap ibu, ayah, dan anak yang bercita-cita tinggi, penemu dan petualang, setiap pengajar kebaikan, setiap politisi rakus, setiap “bintang”, setiap “pemimpin besar”, setiap orang suci dan pendosa sepanjang sejarah umat manusia, hidup di sana, di atas setitik debu yang melayang dalam seberkas sinar.

Bumi adalah panggung yang amat kecil di tengah luasnya jagat raya. Renungkanlah sungai darah yang ditumpahkan para jenderal dan penguasa sehingga dalam keagungan dan kemenangan mereka dapat menjadi penguasa yang fana di sepotong kecil titik itu. Renungkanlah kekejaman tanpa akhir yang dilakukan orang-orang di satu sudut titik ini terhadap orang-orang tak dikenal di sudut titik yang lain, betapa sering mereka salah paham, betapa kejam mereka untuk membunuh satu sama lain, betapa dalam kebencian mereka. Sikap kita, keistimewaan kita yang semu, khayalan bahwa kita memiliki tempat penting di alam semesta ini, tidak berarti apapun di hadapan setitik cahaya redup ini. Planet kita hanyalah sebutir debu yang kesepian di alam yang besar dan gelap. Dalam kebingungan kita, di tengah luasnya jagat raya ini, tiada tanda bahwa pertolongan akan datang dari tempat lain untuk menyelamatkan kita dari diri kita sendiri.

Bumi adalah satu-satunya dunia yang sejauh ini diketahui memiliki kehidupan. Tidak ada tempat lain, setidaknya untuk sementara, yang bisa menjadi penyelamat spesies kita. Kunjungi? Ya. Menetap? Belum saatnya. Suka atau tidak, untuk saat ini Bumi adalah satu-satunya tempat kita hidup. Sering dikatakan bahwa astronomi adalah suatu hal yang merendahkan hati dan membangun kepribadian. Mungkin tak ada yang dapat menunjukkan laknatnya kesombongan manusia secara lebih baik selain citra dunia kita yang mungil ini. Bagiku, gambar ini mempertegas tanggung jawab kita untuk bertindak lebih baik terhadap satu sama lain, dan menjaga serta merawat sang titik biru pucat, satu-satunya rumah yang kita kenali bersama.

kunci sebenarnya adalah melatih diri kita untuk senantiasa merasa kecil dan tak berdaya dihadapanNya atau pada setiap kali kita menyebut nama Allah.

Namun mengapa kita harus melakukan ini semua, yaitu mengakui kebesaran Allah swt itu?

Pertama: agar kita sadar bahwa ada satu zat yang pasti akan melebihi kita, yakni Allah subhanahu wa ta’ala, betapapun pandainya kita. Jangan mengira bahwa dengan penguasaan ilmu, kita berarti bisa mengalahkan ilmu Allah. Para sarjana yang telah berhasil meng-cloning beberapa jenis ternak seperti Dolly si biri-biri hasil rekayasa genetika, belum apa-apanya dibandingkan dengan ilmu yang dimiliki Allah swt.

Banyak orang yang masih sering lupa bahwa pengalaman-pengalamannya di masa lampau tidak menjamin keberhasilannya di masa yang akan datang, karena masih ada Allah yang Maha Menentukan. Oleh karena itu ucapkanlah selalu Insya Allah dengan tulus ikhlas bila meng-commit sesuatu.

Kedua: agar kita bisa tetap rendah hati pada saat kita memiliki kelebihan dibanding orang lain, apapun jenis kelebihan yang kita miliki. Kalau kita cerdas dan tampan, tak perlu kita pamer kecerdasan dan ketampanan. Kalau kita diberikan ni’mat rizki dan harta lebih dari orang lain, tak perlu kita menonjolkannya.

Kelebihan yang kita miliki itu justru harus memperbanyak rasa syukur kita dengan makin taqwa kepadaNya. Jangan seperti iblis yang tinggi hati. Karena merasa terbuat dari api, ia merasa lebih mulia dari pada manusia yang diciptakan dari tanah, sehingga ia berani menentang perintah Allah untuk sujud di hadapan manusia.

Mudah-mudahan dengan meresapi makna Allahu Akbar dalam setiap shalat, do’a dan dzikirmu maka sifat sombong dapat dihindari, suatu sifat yang sangat tidak disukai oleh Allah subhanahu wa ta’ala. Amien ya Rabbal alamiin.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.